“The Cow” dan “The Bull”, begitulah nama panggilan dari dua batu besar yang terdapat pada sebuah tebing di Pulau Eleuthera, Bahama. Kedua batu itu telah lama menjadi objek wisata di Pulau Eleuthera. Namun kini, banyak peneliti yang mengambil perhatian lebih terkait objek yang menyimpan ‘misteri’ ilmiah besar tersebut.
Dilansir dari Science Alert (4/11/2017) yang mengutip The Washington Post, para peneliti menyimpulkan, batu-batu itu menyimpan sebuah jawaban akan fenomena ‘perubahan iklim‘.
Batu yang jika diartikan dalam Bahasa Indonesia adalah ‘Sapi’ dan ‘Banteng’, merupakan batu besar yang mengalami perpindahan posisi, dari dasar laut menuju puncak tebing setinggi 50 kaki. Belum diketahui secara pasti, bagaimana kedua batu tersebut dapat bergerak. Peneliti menduga, pemecahan masalah tersebut berada jauh di bawah Samudera Atlantik sana.
Sebuah hipotesis yang menyeramkan, jika mengacu pada kondisi yang saat ini sedang terjadi.
Dua tahun lalu, ilmuwan iklim James Hansen menjabarkan, ‘Sapi’ dan ‘Banteng’ bergerak akibat adanya topan besar yang terjadi pada 100.000 tahun lampau. Sebelum mengeluarkan dugaan tadi, ia telah melakukan proyek penelitian bersama Paul Hearthy, pensiunan profesor dari Universitas North Carolina.
Hansen menyatakan, kondisi tersebut dapat kembali terulang pada masa kini. Hal itu dapat terjadi jika lapisan es kutub mencair, sehingga menyebabkan sirkulasi air laut meningkat. Peristiwa tadi akan mengulang sejumlah skenario alam sulit yang dahulu pernah dialami Bumi.
Akibat Perubahan Iklim, atau…
Sebuah studi terbaru membantah dugaan pertama. Jika memang benar kedua batu tersebut berpindah posisi akibat gelombang laut besar, bukan berarti itu disebabkan oleh topan atau badai angin. Pernyataan itu dikeluarkan sebagai hasil penelitian yang diterbitkan oleh Alessio Rovere dari University of Bremen, beserta kawan-kawannya dari Pusat Penelitian Kelautan Tropis Leibniz. Mereka memaparkan hasil penelitiannya pada sebuah perjumpaan di Akademi Sains Nasional AS.
Mereka menyatakan, kekuatan badai angin saat ini pun dapat memindahkan batu laut berukuran besar, setidaknya 6 sampai 9 meter lebih tinggi. Hal itu juga yang kemudian terjadi pada saat Periode Eemian, sekitar 125.000 tahun yang lalu.
Kabar dari hasil penelitian tadi terlihat sebagai informasi yang kurang bagus bagi masa depan Bumi yang tengah terancam perubahan iklim.
Penelitian tersebut juga menggarisbawahi fakta, bahwa permukaan air laut yang meninggi dapat melepaskan kekuatan destruktif untuk menghancurkan peradaban manusia di masa mendatang.
Tak perlu angin kencang untuk mewujudkannya. Biarkan laut yang akan melakukan.
Rovere, yang mengadakan penelitian bersama sembilan peneliti lainnya pada institusi di Jerman, AS, Australia, Selandia Baru, dan Belanda, mengungkapkan, “Ketika Anda melihat permukaan laut telah naik, kekuatan yang lebih besar akan menampar tebing itu.”
Kontroversi mengenai Batu Besar Eleuthera ini menandakan, kita belum begitu banyak tahu bagaimana lautan dapat bereaksi pada perubahan iklim. Permukaan air telah meningkat secara perlahan, dan tidak pernah tahu bagaimana itu dapat bertambah cepat.
Ilmu pengetahuan yang ada saat ini, masih belum cukup untuk dapat menjawab fenomena perubahan iklim. Permukaan naik secara perlahan, dan kita tidak mengetahui seberapa banyak hal ini akan dipercepat.
Batu Besar Eleuthera akan terus menjadi perdebatan panjang bagi para ilmuwan dunia.